BANYUWANGI Opini– Siapa yang tidak kenal dengan Ipuk Fiestiandani. Dia adalah bupati saat ini yang juga kembali maju sebagai calon bupati Banyuwangi. Dia tercatat sebagai bupati perempuan kedua setelah Ratna Ani Lestari.
Latar belakangnya juga hampir mirip dengan Ani Lestari, yaitu sama sama memiliki background suami yang pernah menjabat sebagai bupati.
Hanya saja, Ratna Ani Lestari bupati periode 2005-2010 itu memiliki seorang suami yang menjabat bupati di daerah lain, yaitu Jembrana, Bali. Sementara itu, Ipuk Fiestiandani adalah istri dari seorang bupati pendahulunya Abdullah Azwar Anas yang terpilih dua periode dalam kurun waktu 2010-2015 dan 2015-2020.
Sebelum terpilih menjadi bupati Banyuwangi, publik belum banyak mengenal tentang sepak terjang Ipuk Fiestiandani. Agar popularitas dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) tahun 2020 lalu itu terkerek naik, ada perubahan nama dengan embel-embel dan atau tambahan Azwar Anas di belakang namanya. Jadilah Ipuk Fiestiandani Azwar Anas.
Langkah ini dianggap bisa menambah persepsi publik bahwa dia adalah calon bupati yang notabene istri Abdullah Azwar Anas.
Slogan berkesinambungan ditulis di baliho-baliho di masa kampanye membuat dia akhirnya resmi terpilih sebagai bupati Banyuwangi menggantikan suaminya.
Pada saat itu, Abdullah Azwar Anas memang sangat populer.
Bukan hanya warga lokal, melainkan dia dikenal luas di Jawa timur. Bahkan, Anas, sapaan akrabnya dipilih oleh PDIP untuk maju sebagai calon wakil Gubernur Jawa timur mendampingi H. Syaifullah Yusuf pada Pilkada tahun 2018.
Sayang, tokoh asal Desa Karangdoro, Kecamatan Tegalsari ini akhirnya mengundurkan diri dari pencalonan. Ditengarai, dia memilih mundur sebelum “pertandingan” lantaran terkena badai sekaligus tsunami “skandal paha mulus” dengan seorang wanita.
Kini, badai itu telah berlalu. Jelas, itu merupakan ujian terberat bagi kader PDIP itu. Toh, meski begitu, prestasinya mewujudkan Banyuwangi yang semula mendapatkan julukan kota terkotor disulap dengan capaian predikat kota terbersih.
Dari kota yang dikenal sebagai kota santet menjadi kota destinasi wisata. Ini jelas prestasi yang tidak bisa dipungkiri.
Capaian gemilang itu diharapkan bisa diteruskan oleh Ipuk Fiestiandani. Warga Banyuwangi begitu penasaran tentang kiprah dan sepakterjang istri dari seorang pria yang kini menjabat sebagai menteri itu. Berkesinambungan adalah kunci kesuksesan dia terpilih sebagai bupati.
Meski demikian, perlu diingat, perjuangan meraih simpati rakyat dan yang memilihnya saat itu hanya menang dengan selisih tipis yaitu sekitar 4 persen.
Dalam perjalannya, Ipuk Fiestiandani memiliki program yang terkenal dengan Bunga Desa (Bupati Ngantor Di Desa). Program ini tampak serupa dengan program PCNU dibawah sang ketuanya yang diemban oleh H. Moh Ali Makki Zaini atau Gus Makki dengan program Sobo Deso.
Bunga Desa memiliki poin plus dari segala problem di masyarakat. Berkat program ini, banyak masalah yang dihadapi masyarakat, terutama masalah pelayanan bisa diselesaikan. Dan, program ini yang paling diingat oleh masyarakat Banyuwangi.
Pada momentum Pilkada tahun ini, rakyat Banyuwangi harus kembali menentukan sosok pemimpin berikutnya. Kebetulan, Ipuk Fiestiandani akan menghadapi Gus Makki yang sama sama sebagai kandidat calon bupati.
Hanya saja, sang petahana kini harus berpisah dengan wakilnya, H. Sugirah. Sebab, perempuan kelahiran Magelang itu memilih berduet dengan Mujiono, seorang birokrat dengan jabatan terakhir adalah Sekretaris Kabupaten (Sekkab).
Sebagai petahana, tentu banyak tekanan yang harus dihadapi. Fenomena kebosanan di tengah tengah masyarakat tentang kepemimpinan menjadi tantangan yang cukup berat dan harus bisa dilewati.
Jika terlena, maka kans penantang untuk memenangkan kompetisi dalam pesta demokrasi tahun ini bisa terjadi.
Apalagi, framing yang dibangun oleh pasangan calon Ali-Ali (Ali Makki-Ali Ruchi) juga membumi.
Diantaranya yang sedang hangat adalah ali ali sebagai solusi kejenuhan rakyat Banyuwangi atas kepemimpinan Bupati Banyuwangi saat ini.
Memang, pesta demokrasi tidak mengenal istilah dinasti. Sebab, penentunya adalah rakyat. Pemegang hak suara ada di tangan rakyat. Jika rakyat telah menentukan suaranya di bilik suara, itu adalah sah. Ada sederet contoh pemegang kekuasaan dari unsur keluarga yang justru terseret kasus korupsi.
Seperti Ratu Atut Chosiyah, Mantan Gubernur Banten. Yang paling dekat sebagai contoh adalah Hasan Aminudin, Bupati Kabupaten Probolinggo yang menjabat dua periode dengan rentang waktu 2003-2008 dan 2008-2013. Istrinya Puput Tantriana Sari juga menggantikan dirinya sebagai Bupati Kabupaten Probolinggo dua periode.
Sayang, diakhir periode istrinya, dia bersama sang istri ketiban sial karena ditangkap KPK karena kasus korupsi.
Ratna Ani Lestari selama menjabat Bupati ternyata juga harus berurusan dengan hukum. Dia terkena kasus korupsi pengadaan lahan Bandara Blimbingsari. Mirisnya lagi, suaminya mantan Bupati Jembrana juga mengalami kasus korupsi. Belakangan, baik Ratna maupun I Gede Winasa sudah menghirup udara bebas setelah menjalani hukuman.
Tentu, sederet contoh itu memang tidak bisa dijadikan panutan. Dan, ini menjadi tantangan berat bagi sang petahana untuk meyakinkan rakyat. Jangan sampai seperti istilah pepatah, kemarau setahun dihapus oleh hujan sehari.
Yang Baik Dilanjutkan, Yang Belum Selesai Dituntaskan. Yang paling penting adalah yang tidak baik, jangan diteruskan!
Penulis adalah Ali Nurfatoni, Sekretaris Forum Diskusi Dapil Se Banyuwangi