Raperda Kawasa Tanpa Rokok, DPRD Bojonegoro Fasilitasi Pembahasanya

Bojonegoro, (kabarjawatimur.com) – Public hearing rancangan peraturan daerah (raperda) kawasan tanpa rokok (KTR) dibahas diruang paripurna DPRD Bojonegoro, Selasa (04/07/2023). Public hearing yang dihadiri organisasi profesi kesehatan tersebut membawa hasil dukungan untuk dilanjutkan pembahasanya.

Ketua Airlangga Health Promotion Center (AHPC) Sri Widati mengatakan, berdasarkan data survei Riset Kesehatam Dasar (Riskesdas) 2013, rata-rata nasional hanya sekitar 8 persen yang menolak KTR. Sedangkan sekitar 92 persen setuju adanya regulasi tentang KTR.

“Raperda KTR itu akan mengatur tempat perokok. Sehingga masyarakat yang tidak merokok, terutama ibu ibu dan anak anak bisa terlindungi dari bahaya asap rokok.” ungkap Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya tersebut.

Ia menjelaskan, efek dari rokok ini ke berbagai hal. Meskipun secara teori mengakibatkan penyakit tidak ménular, namun secara sosial memiliki dampak menular.

“Semisal di lingkungan pertemanan banyak merokok, tapi ada satu anak tidak merokok. Karena si anak ini merasa kurang pas kalau tidak ikutan merokok, akhirnya terpengaruh ikut merokok,” jelasnya.

Diungkapkan, bahwa di Jawa Timur hanya tersisa tiga kabupaten belum memiliki Perda KTR. Yakni Kabupaten Bojonegoro, Kediri, dan Pasuruan. Harapanya perda KTR bisa mengurangi sakit akibat rokok, khususnya bagi perokok pasif.

Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) 2 DPRD Donny Bayu Setiawan mengatakan, seluruh stakeholder akan dilibatkan dalam pembahasan raperda KTR, guna memperoleh hasil regulasi memberi manfaat bagi masyarakat.

“Pembahasan raperda KTR masih belum rampung. Rencananya, 10 Juli akan menggelar public hearing dengan mengundang kalangan pengusaha restoran, hotel, maupun kafe. Kalau memungkinkan, kami akan undang perwakilan pengusaha rokok elektrik,” jelasnya.

Ia mengungkapkan Public hearing sebelumnya, mendatangkan pengusaha dan buruh rokok. Namun, mereka menolak pembahasan Raperda KTR. Alasannya mereka khawatir berdampak pada buruh rokok. Ada ribuan buruh rokok rata-rata perempuan. (*)

Reporter: Aziz.

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *