SURABAYA (KABARJAWATIMUR.COM) – Polda Jatim saat ini bekerja ektra untuk mengungkap dugaan korupsi di tubuh anak perusaan PT INKA Madiun, yakni PT INKA Multi Solusi (IMS). Penyidik informasinya sudah meminta keterangan 10 orang baik swasta rekanan PT IMS maupun petinggi IMS di Subdit Tipikor Ditkrimsus Polda Jatim.
Keterangan ini untuk menguak apakah ada pidana korupsi dibalik proyek fiktif seputar perkereta apian yang merugikan keuangan negara sekitar Rp 2,5 miliar. Mohammad Yunus, pengadu dugaan permainan proyek yang diarahkan mantan direktur dan komisaris anak perusahaan PT INKA ini, mengaku sangat mengapresiasi kinerja Polda Jatim.
“Jujur saja kami sangat mengapresiasi, kinerja dari tim penyidik Ditreskrimsus Polda Jatim, sudah banyak mengambil langkah dan memeriksa sejumlah petinggi PT IMS. Dan, kami yakin tidak akan lama lagi, pengaduan kami akan dinaikkan menjadi penyidikan,” kata Yunus.
Sumber di lingkungan Ditreskrimsus Polda Jatim nama-nama yang sudah diundang untuk diklarifikasi dugaan korupsi ini di antaranya; Komisaris Utama PT IMS Muhamad Nur Sodik, .Direktur Utama IMS Endah Sri Wahyuni, Direktur Operasi Bambang Sutrisno, Kepala Divisi Keuangan Fadil Asuyundani, Kadep Akutansi Agung Widyananta Kusuma, Senior Manager SPI INKA Ahmad Karsono, General Manager SPI INKA Sukoroto dan enam orang dari vendor yang diduga fiktif.
Sementara Direskrimsus Polda Jatim Kombespol Farman SH MH menegaskan, dalam waktu dekat pihaknya akan menggelar perkara laporan dugaan korupsi di tubuh PT IMS, anak perusahaan PT INKA Madiun.
“Saya sudah panggil penyidik, lalu saya perintahkan untuk segera melakukan gelar perkara, sejauh mana kasus itu terjadi. Jika nanti ditemukan adanya unsur pidana korupsi, akan kami tingkatkan dari penyelidikan atau pulbaket menjadi penyidikan,” katanya.
Farman juga membenarkan, sudah beberapa pihak yang dianggap tahu dan bertanggungjawab terhadap proyek yang diduga fiktif dan penyimpangan dalam investasi berupa investasi dan asuransi sudah diundang dan didengar keterangannya.
Sejak diadukan ke Polda Jatim, Senin 17 Juli lalu, Yunus yang warga Jombang ini mengaku sering komunikasi dengan penyidik untuk melengkapi data dan bukti agar kasus ini bisa naik menjadi penyidikan.
“Sebagai warga negara, kami hanya ingin memerangi kebathilan dalam proyek yang diduga melibatkan transaksi keuangan miliaran rupiah ini. Tujuan lain, selain pelaku atau yang menikmati dugaan korupsi ini dihukum, keuangan negara bisa diselamatkan dan tidak berkelanjutan,” harapnya.
Ditanya siapa saja yang sudah diperiksa? Yunus mengaku tidak hafal, yang pasti para petinggi IMS dan vendor. Dua mantan petinggi PT IMS yang dalam bidikan kasus ini, adalah mantan komisaris berinisial MNS dan eks direktur berinisial EWS.
Laporan tersebut, kata Yunus, mengacu dari laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK) RI No 14/Auditama VII/PDTT/02/2019 tertanggal 11 Februari 2019.
Pemeriksaan BPK ini dengan tujuan tertentu atas pengelolaan penjualan, pengadaan, dan investasi pada PT INKA (Persero) dan Badan Usaha terkait Tahun Buku 2016, 2017, dan 2018 (semester 1) di Madiun yang mendapati adanya korupsi yang diduga dilakukan dua mantan pejabat.
Yunus menyebut, kedua mantan orang yang pernah menjabat di PT IMS itu dilaporkan atas dugaan tranksasi fiktif sebesar Rp 2,5 miliar lebih. Pada Desember 2017 MNS saat menjabat Komisaris Utama PT IMS Madiun dan EWS selaku direktur utama. Dalam laporan keuangan PT IMS per 31 Desember 2017, tercatat nilai total aset sebesar Rp 852 miliar dengan nilai aset lancar senilai Rp 720 milar.
Untuk menurunkan beban bunga akibat tingginya nilai Debt to Equity Ratio (CDER), Direksi PT IMS melakukan beberapa upaya di antaranya mencari alternatif investasi untuk mendapatkan pendapatan bunga yang optimal. Untuk itu, Direksi PT IMS menempatkan sebagian kas perusahaan ke berbagai instrumen keuangan.
Pada 22 Maret 2018, Direksi PT IMS memerintahkan Kepala Divisi Keuangan untuk menutup investasi pada salah satu lembaga keuangan. Karena penutupan dilakukan sebelum jatuh tempo maka muncul denda atau penalti sebesar 4% dengan nilai sebesar Rp 1,5 milar dan rugi penutupan 16 Juli 2018 sebesar Rp2, 28 miliar sehingga total kerugian sebesar Rp3,79 miliar. Untuk menutupi kerugian itu, maka dibuatlah pengadaan barang yang ternyata filtif sebesar Rp 2,5 miliar. (KJT)