Banyuwangi – Sanggar seni Jiwa Etnik Blambangan atau JEB Banyuwangi menggelar pertunjukan konser musik angklung paglak.
Ya, seni angklung paglak masih lestari di Desa/Kecamatan Singojuruh, Banyuwangi. Dimana desa ini disebut-sebut sebagai Bumi Angklung.
Angklung terbuat dari bahan dasar bambu. Dari situlah seniman membuat karya angklung paglak melalui seni musik.
Melalui konser musik tradisi “Angklung Paglak Menyingsing, Senja Berkisah” bukan sekadar sebuah tajuk puitis.
Ia adalah isyarat akan kebangkitan tradisi, dari seorang yang telah melalui senja hidupnya dengan kesetiaan penuh.
Dialah Bapak Tohan, yang menjadi tajuk utama dalam kegiatan yang diprakarsai oleh Jiwa Etnik Blambangan pada Sabtu 31 Mei 2025 malam.
Kegiatan ini adalah sebagai puncak acara dari progam yang sudah dilakukan JEB. Program ini telah diawali dengan Sarasehan budaya yang bertajuk dari bunyi ke ide, membaca Tohan maestro angklung paglak banyuwangi yang diselenggarakan pada 8 Februari 2025 di Aula Warung Seblang.
Dalam forum tersebut, hadir berbagai pihak: akademisi, budayawan, pejabat, hingga sesama seniman.
“Kita mendengar bukan hanya pujian, tapi juga tantangan dan harapan untuk masa depan Angklung Paglak,” kata Ketua Sanggar Seni JEB Adlin Mustika Alam.
Tidak hanya itu, di bulan April ia juga mengadakan progam pembuatan film tentang sosok Tohan yang berjudul ‘Tohan pelaku hidup angklung paglak’
Lalu berlanjut pada Program Residensi Intensif, yang digelar di kediaman maestro Tohan, pada 11 hingga 13 Mei 2025. Di sinilah ilmu itu diwariskan langsung—bukan sekadar dipelajari, tapi dihirup dengan ketekunan, diserap lewat gerak tubuh, telinga, dan hati.
Setidaknya sebanyak 25 anak muda Banyuwangi mengikuti proses ini dengan semangat. Dan kini, mereka membawa nyala yang sama dalam diri mereka.
Tohan bukan hanya pemain angklung. Ia adalah penghayat. Ia adalah penjaga napas. Ia adalah ingatan hidup atas kesenian yang nyaris ditelan waktu.
Lewat tangannya, Angklung Paglak bukan hanya berbunyi, tetapi bicara. Ia bicara tentang tanah, tentang keringat petani, musim, gotong royong, generasi kehidupan yang bersahaja namun penuh makna.
Melalui program Pendokumentasian Maestro, yang difasilitasi oleh Dana Indonesiana dan dijalankan oleh Sanggar Jiwa Etnik Blambangan, kita menandai awal dari satu ikhtiar besar: memastikan bahwa ilmu, teknik, dan filosofi Tohan tidak sekadar dikenang, tapi dihidupkan kembali oleh generasi muda.
Salah satunya komposer muda Bagus Agustin asli lare pasinan, yang mencoba menafsir ulang kemungkinan Angklung Paglak di luar pakem lama, namun tetap berakar kuat pada identitasnya. Ini bukan sekadar inovasi. Ini adalah bukti bahwa tradisi bisa bertumbuh dan beradaptasi.
“Di tengah dunia yang serba cepat dan instan, kamipun beradaptasi dengan ingatan kolektif. Kita tidak hanya mendokumentasikan Tohan sebagai pribadi, tetapi juga semangat dan dedikasi yang telah menjadikan Angklung Paglak tetap hidup di antara kita,” jelasnya.
Tohan telah menabur, dan kini saatnya generasi muda menyingsing. Angklung Paglak tak boleh padam di senja, sebab kini ia menemukan kembali fajar lewat tangan-tangan muda.
“Paglak menyingsing. Senja berkisah. Dan kisah itu akan terus kita bawa, dari desa ke kota, dari panggung ke hati, dari hari ini ke masa depan,” tegas Adlin Mustika Alam, seniman muda jebolan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta ini. ***