Birokrasi dalam Bayang-Bayang Politik: Menimbang Ulang Etika Pelayanan Pasca Pilkada

Oleh: Dr. Emi Hidayati
Akademisi dan Pemerhati Tata Kelola Pemerintahan Daerah

BANYUWANGI – Pasca pemilihan kepala daerah, perubahan pada struktur organisasi perangkat daerah (OPD) seringkali diwarnai oleh rotasi, mutasi, dan pengangkatan pejabat baru yang tidak selalu mencerminkan prinsip meritokrasi.

Di banyak kasus, preferensi politik lebih dominan daripada pertimbangan profesionalisme dan kapasitas birokrasi.

Fenomena ini menciptakan birokrasi yang berfungsi bukan sebagai pelayan publik yang netral, melainkan sebagai tim pendukung (think tank) kepala daerah terpilih—bahkan menjadi client kekuasaan.

Birokrasi yang demikian tentu bertentangan dengan prinsip ideal yang dirumuskan oleh Max Weber dalam tipologi “birokrasi rasional-legal”.

Menurut Weber, birokrasi yang sehat dibangun di atas asas kompetensi, hierarki yang jelas, aturan baku, dan impersonalitas. Ia menjadi tulang punggung tata kelola modern yang menjamin stabilitas dan pelayanan publik yang profesional.

Namun dalam konteks politik lokal pasca-Pilkada, birokrasi cenderung mengalami degenerasi menjadi alat kekuasaan—dimana loyalitas politik lebih dihargai daripada integritas dan kapasitas.

Pendekatan Konseptual: Dari Ideal Tipikal ke Realitas Praktis.

Dengan pendekatan konseptual Weberian yang memadukan idealisasi tipikal dan pemahaman kontekstual, kita dapat melihat bagaimana distorsi birokrasi terjadi dalam ruang demokrasi elektoral.

Demokrasi, dalam pengertian partisipasi warga dalam urusan komunitas dan pemecahan masalah sosial, seharusnya menuntut birokrasi yang netral, transparan, dan akuntabel. Namun, praktiknya seringkali berbalik arah: demokrasi elektoral justru memunculkan relasi transaksional antara kepala daerah dan birokrat.

Sebagaimana diuraikan dalam kajian Graeber dan Wengrow (2021), berbagai konfigurasi demokrasi dan bentuk partisipasi telah muncul dalam sejarah panjang umat manusia. Demokrasi bukan hanya soal pemilu, tapi soal bagaimana partisipasi terdistribusi secara adil dalam pengambilan keputusan dan pelayanan publik.

Dalam hal ini, birokrasi seharusnya menjadi enabler bagi demokrasi deliberatif dan partisipatif—bukan sebaliknya.

Dilema Hierarki dan Jaringan: Saat Birokrasi Kehilangan Otonomi

Dalam diskursus kontemporer, dua bentuk ideal tata kelola publik dibedakan: hierarki (birokrasi formal) dan jaringan (governance networks). Keduanya sebenarnya tidak saling menegasikan, tetapi dapat bersinergi dalam tata kelola yang adaptif.

Namun di Indonesia, khususnya di tingkat daerah, struktur hierarkis birokrasi yang rigid seringkali tidak memberi ruang bagi partisipasi, inovasi, apalagi kolaborasi lintas sektor. Ketika posisi birokrat ditentukan oleh kedekatan dengan kekuasaan, maka hilanglah semangat profesionalisme, dan yang muncul adalah loyalitas semu.

Ini menjadi tantangan serius dalam membangun tata kelola publik yang responsif dan inklusif. Birokrasi yang terjebak dalam praktik patronase politik tidak akan mampu menjadi motor penggerak pembangunan daerah secara berkelanjutan. Ia hanya akan melayani kepentingan jangka pendek elite politik, bukan kepentingan publik secara luas.

Reformasi Struktural: Dari Politik Balas Jasa ke Meritokrasi.

Sudah saatnya pemerintah daerah—khususnya kepala daerah terpilih—berkomitmen untuk menegakkan sistem merit dalam pengisian jabatan birokrasi. Reformasi birokrasi bukan hanya slogan administratif, melainkan keberanian untuk memutus mata rantai clientelism dalam politik lokal. Aparatur sipil negara harus dijamin independensinya agar mampu menjalankan peran profesional tanpa tekanan politik.

Birokrasi dalam konteks pemerintahan daerah pasca pilkada, seharusnya menjadi institusi yang menjamin kesinambungan pelayanan publik dan stabilitas tata kelola, bukan sekadar pelengkap kekuasaan politik.

Namun, fenomena yang kerap terjadi adalah birokrasi disusun ulang berdasarkan kedekatan personal, loyalitas politik, atau kontribusi elektoral kepada kepala daerah terpilih.

Kondisi ini menggeser posisi birokrat dari pelayan publik yang profesional menjadi client kekuasaan yang tunduk pada kepentingan elit. Perspektif kontemporer tentang birokrasi sebagaimana dirumuskan Frederickson (1980) dalam New Public Administration menolak cara pandang semacam ini.

Birokrasi ideal justru diposisikan sebagai aktor aktif dalam memperjuangkan keadilan sosial dan demokrasi substantif, serta memiliki tanggung jawab moral untuk mewakili kepentingan warga, khususnya kelompok-kelompok rentan yang sering terabaikan oleh dinamika politik elektoral.

Seiring berkembangnya pendekatan governance networks pada dekade 1990-an (Bevir, 2010; Klijn & Skelcher, 2007), birokrasi didorong untuk lebih terbuka terhadap partisipasi warga dan kolaborasi lintas aktor dalam proses pengambilan kebijakan. Namun, di banyak daerah termasuk dalam pengalaman lokal, birokrasi belum sepenuhnya mampu menjadi fasilitator demokrasi partisipatif.

Reformasi birokrasi sering berhenti pada tataran administratif, tanpa menyentuh aspek normatif seperti etika jabatan, keadilan distribusi, dan keberpihakan pada kepentingan publik.

Untuk itu, penataan birokrasi di tingkat daerah perlu berangkat dari paradigma baru yang memposisikan birokrat sebagai pelaku demokrasi yang akuntabel dan berpihak pada warga, bukan sekadar “tim sukses” dalam format birokratis. Peneguhan profesionalisme birokrasi pasca pilkada menjadi penting agar birokrasi tidak kehilangan marwahnya sebagai instrumen keadilan dan pelayanan publik yang beradab.

Menata Ulang Relasi Kekuasaan dan Birokrasi.

Sebagai akademisi dan bagian dari masyarakat sipil, kita memiliki tanggung jawab moral untuk menyuarakan pentingnya reformasi birokrasi yang substansial. Birokrasi yang kuat bukan berarti birokrasi yang loyal kepada penguasa, tetapi birokrasi yang mampu berdiri tegak atas dasar hukum, aturan, dan kepentingan publik. Demokrasi yang sehat memerlukan birokrasi yang otonom, profesional, dan melayani.

Momentum pasca-Pilkada adalah waktu yang tepat untuk mengingatkan bahwa jabatan publik adalah amanah, bukan hadiah politik. Dan dalam sejarah panjang demokrasi, seperti yang ditunjukkan oleh banyak studi, masyarakat yang mampu menjaga keseimbangan antara kekuasaan politik dan birokrasi profesional, akan lebih mungkin menciptakan tata kelola yang adil dan berkelanjutan.

Penulis adalah Dr. Emi Hidayati
(Akademisi dan Pemerhati Tata Kelola Pemerintahan Daerah). Isi konten di luar tanggung jawab redaksi

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *